Buya Hamka, dalam bukunya Urat Tunggang Pancasila, cetakan pertama Tahun 1951 yang masih menggunakan ejaan lama oleh penerbit pustaka “Keluarga” Jakarta, menyatakan bahwa sila pertama pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa merupakan sumber hakiki dari segala sila dan kesusilaan
Berawal dari Pidato Ir. Soekarno
Pada hari senin, 7 Mei 1951 dalam rangka peringatan isra’ mi’raj Nabi Muhammad s.a.w. Presiden Soekarno memberikan wejangan bahwa salah satu kebesaran pribadi Nabi Muhammad, adalah agar kita berjuang menegakkan negara dalam persatuan yang kokoh dan jangan bercerai-berai, dan jadikanlah Pancasila menjadi dasar perjuangan menegakkan negara. Bukan hanya memakai sila Ketuhanan yang Maha Esa saja.
Soekarno menyerupakan rukun Pancasila dengan rukun Islam, yang tidak boleh dikerjakan dengan hanya satu rukun saja. Sebab itu beliau serukan supaya kembali kepada Pancasila.
Karena pidato ini, umat Islam merasa tersinggung, menyangka bahwa yang di sindir Bung karno adalah golongan kaum Muslimin ( saat itu Masyumi) dengan “Ketuhanan yang Maha Esa” yang disebutkan tadi dan menimbulkan kehebohan. Maka dari itu buya Hamka menulis buku Urat Tunggang Pancasila ini.
Tafsir Ketuhanan yang Maha Esa Menurut Buya Hamka
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa adalah pengakuan adanya kekuasaan diatas seluruh kekuasaan manusia, ia adalah asas dari satu kepercayaan atas kesatuan Allah, dalam Ketuhanannya, dalam perbuatannya dan dalam kekuasaannya.
Dalam dasar kepercayaan Ketuhanan yang Maha Esa, seluruh alam ini dikumpulkan menjadi satu, dengan satu nama, yaitu ‘Makhluk’. Meskipun langit, bumi cakrawala, matahari, bulan, bintang, manusia dan binatang, bahkan kesemuanya benda materi yang ada itu disebut dalam satu sebutan ‘Makhluk’, dan Tuhan yang menciptakan disebut ‘Khalik’.
Mahluk (yang di cipta) dan Khalik (pencipta) akan selalu ada hubungannya. Dalam hal hubungan ini, Tuhan yang Maha Esa bernama Rabbun, senantiasa memelihara, menjaga dan meneliti pada makhluknya.
Penjagaan khalik terhadap makhluknya tidak pernah terlepas. Sifatnya ialah Rahman dan Rahim, pengasih dan penyayang. Keseimbangan yang didapat dalam alam semesta, keindahan, kecantikan, keadilan dan serba keteraturannya, semuanya adalah rahmat.
“Kataba ala nafsih ir-Rahmata”, dia telah menuliskan (mewajibkan) atas dirinya sendiri, supaya melimpahkan rahmat bagi seluruh makhluknya
Maka dijelaskan pula oleh nabi Muhammad s.a.w agar supaya umat penganut faham ini memakai pula akan sifat Rahman dan Rahim. Sabda nabi s.a.w. “berasa rahimlah terhadap sesuatu di bumi, agar dirahimi pula kamu oleh yang dilangit” . disini mulai terbuka rahasia langsung dari sila Ketuhanan yang Maha Esa itu bagi kaum muslimin, begitupun dalam menyikapi sebuah kritik harus utamakan sifat Rahimnya – tulis Buya Hamka dalam Urat tunggang Pancasila
Sila Pertama adalah Pangkal Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Hamka menyebutkan bahwa perjuangan kemerdekaan indonesia dipelopori oleh manusia-manusia besar yang senantiasa berkeyakinan pada sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa
Sebagaimana contoh para pejuang kemerdekaan seperti Sultan Hasanudin, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, dan pejuang-pejuang Islam lainnya berjuang karena “Ketuhanan yang maha Esa”. Begitupun rakyat jelata tampil ke muka dengan bambu runcing dan senjata seadanya, demikian juga kiai-kiai dan santri dengan semangat selalu memekikkan takbir.
“Cobalah tanyai kepada Bung Karno, atau kepada Bung Hatta, bukankah hanya itu saja modal yang ada dalam hati mereka waktu itu?” – tulis Hamka dalam Bukunya
Ke-empat Sila dan Sila Ketuhanan yang Maha Esa
Hamka menambahkan, jika seseorang sudah percaya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka dengan sendirinya pastilah tumbuh satu demi satu sila lainnya.
Seperti di sila kedua, tentang peri kemanusiaan. Islam sudah mengajarkan bahwa seluruh manusia ini adalah umat yang satu, dan Hamka menambahkan bahwa kebangsaan kita bukan cauvanisme (membenci bangsa lain), karena membenci bangsa lain berlawanan dengan dasar kemanusiaan dan melanggar sila Pertama Ketuhanan yang Maha Esa.
Di sila ketiga tentang Persatuan Indonesia, Allah sendiri telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Hujurat : 13. Dan di sila ke empat, Hamka menerangkan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa secara logis pasti akan menimbulkan musyawarat untuk mufakat demi mencapai kedaulatan rakyat
Menurut Hamka, soal kedaulatan rakyat, Tuhan tidak ikut campur karena hal itu mutlak urusan manusia. Dalam artian Tuhan hanya memberikan arahan dan manusia sendirilah yang melakukan pekerjaan itu sehingga didapat hasil yang sesuai dengan apa yang di inginkan Tuhan.
Ketuhanan yang Maha Esa, lanjut Hamka , dengan sendirinya sila kelima, Keadilan Sosial. “Adil dan Makmur yang merata karena kita manusia ditakdirkan Tuhan sama, Sama-sama Hamba-Nya, tingkat hidup hanya soal kesanggupan. Seperti juga salah satu nama Tuhan adalah “al-adl”, yang berarti keadilan, sehingga kita harus berupaya mencapai keadilan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, beramal dan ibadah, berjama’ah sholat, puasa pun dalam mengerjakan Haji, jelas sekali adanya keadilan sosial.
Pelurusan Maksud Pidato Bung Karno
Hamka dalam menutup bukunya urat tunggang Pancasila menegaskan, bahwa Bung Karno dalam pidatonya tidak menyindir kaum pererakan Islam atau perkumpulan Islam. bukankah Bung Karno juga pernah berkata kepada salah seorang pemimpin kita, bahwa beliau sangat tertarik dengan ideologi, falsafah keragaman dan falsafah perdamaian. Yang beliau maksud dengan memperjuangkan Ketuhanan yang Maha Esa saja barangkali adalah golongan umat Islam, atau entah golongan pemeluk agama lain yang tidak mengerti perjuangan, yang agamanya membeku dan membisu
Oleh karena itu, Hamka percaya itulah yang Bung Karno maksudkan. Sebagaimana dalam buku falsafat lahirnya Pancasila karya beliau, di buku itu Bung Karno menganjurkan supaya umat Islam turut berjuang menegakkan Negara. Sehingga sebagian besar dari anggota-anggota perwakilan itu terdiri dari orang Islam sejati dan tercapai kehendak Islam sejati