Perkataan dosa besar berasal dari bahasa Sangsekerta, jika dalam bahasa Arabnya disebut az-zanbu, al-ismu atau al-jurmu. Menurut istilah para fuqaha, dosa adalah akibat tidak melaksanakan perintah Allah SWT yang hukumnya wajib dan mengerjakan larangan Allah yang hukumnya haram. Para fuqaha sepakat bahwa dosa besar adalah dosa yang pelakunya diancam dengan hukuman di dunia, azab di akhirat dan dilaknat oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Dalam teologi Islam selain membahas tentang ketuhanan, mereka juga membahas tentang siapa yang kafir dan siapa yang masih beriman. Para ulama terdahulu pada penghujung abad satu hijriah masih memperdebatkan apakah orang yang melakukan dosa besar itu keluar dari agama Islam atau tetap menjadi seorang mukmin. Pembahasan keyakinan dan kekufuran ini muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Sejarah Awal Mula Perdebatan Mengenai Dosa Besar
Meninggalnya khalifah Usman bin Affan menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai calon terkuat khalifah keempat. Namun, dia ditantang oleh beberapa sahabat Nabi, mereka juga ingin menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubair dari Mekah. Pertempuran terjadi di Irak pada tahun 656 M dan dipatahkan oleh Ali dan pasukannya. Thalhah dan Zubair terbunuh, dan Aisyah ra. dikirim kembali ke Mekah.
Ali bin Abi Thalib memiliki masalah lain ketika menjadi khalifah yaitu menyelesaikan pemberontakan Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah adalah gubernur Damaskus yang tidak setuju dengan pemerintahan Ali. Pertempuran ini dinamakan Perang Shiffin tahun 659 M.
Tepat pada saat pasukan Ali bin Abi Thalib hampir menang, tangan kanan Muawiyah yaitu Amr bin Ash yang terkenal licik, mengangkat Al-Qur’an untuk perdamaian. Di pihak Ali, para Qurra mendesak Ali untuk menerima proposal ini dan mencapai penyelesaian melalui arbitrase. Kejadian ini jelas tidak baik bagi Ali dan baik bagi Muawiyah.
Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, dan Muawiyah hanyalah seorang gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini, Muawiyah statusnya naik menjadi khalifah tidak resmi. Ali Menolak keputusan ini dan tidak ingin mengundurkan diri sampai dia terbunuh pada tahun 661 M. Tidak mengherankan Ali menerima tipu muslihat Amr bin Ash untuk berarbitrase.
Meskipun prajuritnya beberapa kali memaksa, namun ia tidak menerimanya. Mereka mengira Ali salah, jadi mereka meninggalkan kelompok. Kelompok yang meninggalkan Ali disebut Khawarij dalam sejarah Islam. Uraian masalah politik ini pada akhirnya menimbulkan masalah teologis. Kelompok Khawarij meyakini bahwa Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta orang-orang yang teradili adalah kafir, dan mereka harus dibunuh.
Masalah meningkat apakah mereka masih bisa menyebut dirinya beriman karena melakukan kejahatan berat. Kemudian pertanyaan tersebut memunculkan mazhab baru selain Khawarij di pemikiran Kalam, yaitu mazhab Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Mereka memiliki persamaan dan perbedaan dalam pandangan tentang pelaku yang berbuat dosa besar (Amin, 2014).
Perbedaan Pendapat Aliran Kalam Dalam Melihat Dosa Besar
Pertama, adalah sekte Khawarij mereka mempunyai karakter ekstremisnya dalam menentukan masalah kalam. Tidak heran jika sekte ini juga memiliki pandangan ekstrem terhadap pelaku dosa besar, serta penghakiman siapa yang kafir dan mukmin. Mereka percaya bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Tahkim, terutama Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari, adalah Kafir.
Kedua, Mu’tazilah menyebutkan bahwa orang yang berbuat dosa besar, maka tidaklah dia kafir dan tidak juga dia mukmin, dia adalah yang berada di antara dua sisi tersebut. Pernyataan ini di ceritakan oleh Hasan al-Basri pada saat beliau memimpin pengajian di salah satu masjid di Basrah.
Pada saat itu ada salah seorang yang bertanya kepada Hasan al-Basri tentang seseorang yang berbuat dosa besar. Apakah itu masih mukmin atau kafir, lalu di saat Hasan al-Basri belum menjawab pertanyaan itu, ada Washil Ibn Atha yang menjawab bahwa orang yang berbuat dosa besar, maka tidaklah dia kafir dan tidak juga dia mukmin, dia adalah yang berada di antara dua sisi tersebut.
Setelah menjawab pertanyaan tersebut Washil ibn Atha langsung meninggalkan tempat tersebut bersama temannya Amr ibn Ubaid. Lalu Hasan al-Basrilah yang menyebutkan bahwa mereka sudah berpisah dari kita dan menyebutkan mereka adalah Mu’tazilah. Disitulah sebab awal mula adanya Mu’tazilah (Hatta, 2018).
Ketiga, yaitu aliran Murji’ah, dari segi terminologi yaitu suatu kelompok dalam Islam yang meyakini maksiat tidak mengurangi rasa iman. Kaum Murji’ah ini datang disaat perpecahan muawiyah dan ali dengan teori awal mereka yang menyebutkan bahwa pelaku dosa besar diberikan hukuman hanya kepada Allah.
Lalu beriring waktu kaum Murji’ah mengklaim bahwa kemaksiatan tidak akan mempengaruhi keimanan karena bagi mereka keimanan terpisah dari amal ibadah. Lalu ada sebagian kaum Murji’ah aliran keras yang mengatakan iman hanya percaya dalam hati, sekalipun dia menyebutkan kalimat kekufuran (Syandri, 2017).
Keempat, ada aliran Ahlus sunnah wal jamaah aliran ini memecah menjadi dua aliran dari Maturidiyah dan Asy’ariyah. Maturidiyah menyebutkan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan dosa tersebut akan diproses Tuhan di akhirat nantinya.
Mereka tidak akan kekal di neraka sekalipun mereka mati tanpa bertaubat. Begitu pun Asy’ariyah, mereka menyebutkan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetaplah mukmin. Namun dikarenakan mereka berbuat dosa, maka dihukumi fasik (Amin, 2014). Itulah perbedaan pandangan tentang pelaku dosa besar dari berbagai macam aliran teologi Islam yang bisa kita ambil pelajaran dan agar bisa saling memahami pemikiran aliran yang lainnya tanpa menjatuhkan, karena Islam adalah agama yang penuh kasih sayang.
Editor: Rahmat Rusma