Bisa dikatakan Islam adalah agama feminisme. Hal ini didasarkan bahwa pada awal munculnya Islam, ia telah menjadi jawaban atas budaya patriarki bangsa Arab. Islam telah menjadi oposisi biner terhadap sifat eksploitatif bangsa arab terhadap wanita. Islam sangat menghargai kedudukan wanita sebagai manusia sama halnya dengan kedudukan laki-laki.
Namun ironisnya, banyak orang yang membenarkan hal ini. Mereka berpandangan bahwa budaya patriarki seperti itu merupakan bagian dari budaya Islam. Pendapat ini didasarkan bahwa Islam diturunkan di Arab, sehingga kedua hal ini semacam dihubung-hubungkan.
Secara universal, feminisme dapat diartikan upaya membebasan wanita dari belenggu perbedaan gender. Wanita juga merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah, bukan sebagai makhluk kelas dua di bawah laki-laki. Akan tetapi sederajat, bahkan saling tertaut dan bersifat saling membutuhkan. Kesalahan persepsi di atas telah berujung pada kemunduran umat itu sendiri.
Tafsir Ayat Feminisme Amina Wadud
Salah satu contohnya adalah sebuah keharusan wanita berdiam diri di rumah, mereka tidak boleh bekerja dan lain sebagainya. Amina Wadud sebagai salah satu dari jutaan wanita yang sadar akan kesalahan persepsi ini, ia melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat feminisme dan berupaya mencari titik terang kenapa banyak penafsiran miring terhadap ayat-ayat feminis.
Alasan paling mendasar adalah para penafsir yang dominan diisi oleh laki-laki. Maka dari itu, Amina Wadud berupaya mengeluarkan perempuan dari kekangan endosentrisme (nilai dominan yang di sandarkan pada norma dan cara pandang laki-laki)
Menurut Amina, wanita dan laki-laki tidak memiliki perbedaan sama sekali dari segi derajat. Baginya, wanita dan laki-laki adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Sebagaimana Allah menciptakan hal yang berpasang-pasangan, seperti malam dan siang, atas dan bawah, gelap dan terang. Kedua-duanya berbeda, namun saling melengkapi.
Menurut paradigma tauhidnya, Amina memaparkan bahwa laki-laki dan perempuan berada pada tingkat yang sama, yaitu makhluk. Jika laki-laki menganggap dirinya lebih tinggi, maka secara tidak langsung, ia telah membuat dirinya lebih tinggi dari derajat perempuan bahkan menyamai khalik (pencipta).
Salah satu dalil yang digunakan oleh Amina dalam menjelaskan kesetaraan gender adalah ayat yang menyatakan, bahwa standar penetapan derajat manusia adalah ketaqwaannya pada Allah, bukan dari segi gendernya. Memang secara fisik laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang sangat signifikan, namun hal itu ada tidak lain karena sudah menjadi ketetapan dari Allah Swt.
Melakukan subordinasi terhadap wanita hanya akan menutup berbagai peluang ekonomi yang ada. Ketika kita mengurung wanita pada pekerjaan domestik dalam ruang lingkup rumah, maka itu tidak akan menghasilkan perkembangan ekonomi sama sekali. Inilah yang menjadi perhatian Amina Wadud dalam tafsir ekofeminisnya. Pemberdayaan wanita sangat dibutuhkan, demi terciptanya perkembangan ekonomi.
Feminisme Liberal Barat vs Feminisme Amina
Jika kita membandingkan feminisme liberal Barat dan feminisme yang dibawa Aminah Wadud, maka akan ditemukan beberapa perbedaan mencolok. Di antaranya adalah feminisme liberal meletakkan perempuan dan laki-laki dalam posisi yang saling bersaing. Sedangkan dalam konsep ekofeminisme, laki-laki dan perempuan dipandang adalah satu kesatuan, saling melengkapi satu sama lain.
Ekofeminisme tidak terlalu menuntut pada kesetaraan, namun lebih pada keseimbangan. Ini merupakan kritik terhadap feminisme liberal Barat yang selalu menempatkan laki-laki dan perempuan dalam dimensi persaingan gender. Padahal kita dapat menyatukan hal itu dalam relasi gender.
Dalam relasi gender, Amina memaparkan konsep potensi diri. Di mana masing-masing manusia entah itu laki-laki atau perempuan memiliki potensi yang sama dalam mengembangkan dirinya masing-masing. Kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak dibatasi oleh gender. Misalnya wanita bisa saja menjadi kepala negara, polisi, tentara dan banyak lainnya. Namun karena budaya lah yang kemudian menjadi penghalang relasi gender antara laki-laki dan perempuan.
***
Pada akhirnya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan bukan untuk saling berlawanan dalam mencari posisi teratas, melainkan saling mengisi dan melengkapi. Dan memang dalam ayat-ayat Allah seringkali menyebutkan suatu yang berpasangan diiringi pesan untuk saling melengkapi.
Amina Wadud telah membuka jalan menuju tafsir ayat-ayat feminis yang lebih komprehensif, yang tidak terintervensi oleh budaya patriarki. Dari situlah akan muncul tafsir yang lebih luwes dan dapat menjadi acuan bagi kaum muslimah di seluruh dunia.
Perlu kita sadari, bahwa perempuan merupakan pembentuk peradaban yang urgensinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Ia merupakan sekolah dan juga sumber pengetahuan pertama seoorang anak. Oleh karena itu, akan sangat ironis ketika kita meletakkannya dalam posisi kelas dua. Sudah saatnya perempuan mendapatkan posisis dan hak yang sama sebagai manusia.
*Tulisan ini adalah juara 2 Sekolah Kepenulisan Essay PK IMM Ma’had Abu Bakar Putri UMS