Oleh: Muhammad Khusnul Khuluq
Seorang revolusioner itu diciptakan alias didulang lalu ditempa. Bukan “ada” begitu saja. Bukan dilahirkan begitu saja. Itu kesan pertama saya memasuki paruh awal ketika menyaksikan film Jejak Langkah Dua Ulama (JL2U) beberapa waktu lalu. Itu terlihat tingkah polah seorang Darwis, alias Ahmad Dahlan muda dan Hasyim, panggilan K.H. Hasyim Asy’ari muda.
Film ini adalah buah karya Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan Pondok Pesantren (ponpes) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Dengan mengambil setting tempat seperti Jombang, Kediri, Yogjakarta, Madura, dan beberapa tempat lainnya, mengesankan bahwa film ini hendak didetail dengan baik.
Baca Juga: Titik Temu Muhammadiyah dan NU
Rilisnya film ini mengingatkan Saya pada dua film sejenis ini yang telah rilis sebelumnya. Sang pencerah dan Sang Kiyai. Namun, jejak langkah lebih merupakan gabungan antara kedua film tersebut. Mengisahkan perjalanan dua tokoh besar. Pendiri organisasi Islam besar di Indonesia.K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU).
Bagaikan Saudara Kembar
Mereka berdua sama-sama nyantri pada ulama-ulama tersohor pada masanya. Bahkan, dikisahkan kemesraan mereka saat sama-sama nyantri pada kiyai yang sama seperti Kiyai Shaleh Darat. Darwis, si sulung. Dan Hasyim si bungsu. Mereka seperti saudara kembar yang saling menguatkan dalam ilmu. Persaudaraan dalam ilmu. Itulah yang tampak pada mereka.
Tidak hanya di Nusantara. Mereka juga pergi ke Makkah. Di mana, Makkah adalah salah satu pusat keilmuan dunia Islam waktu itu. Bukan dengan maksud lain. Selain memperdalam wawasan keislaman. Memperdalam ilmu. Di situlah mereka berdua bersentuhan dengan pikiran para ulama kelas dunia.
Sekembalinya ke tanah nusantara, tidak ada hal lain keculai bagaimana mengamalkan ilmunya. Kiai Dahlan hanya memikirkan bagaimana praktik-praktik keislaman yang menyimpang bisa diluruskan.
***
Juga bagaimana memberikan pendidikan yang mencerahkan. Ini yang mengilhami Ahmad Dahlan membangun sekolah modern. Dan kemudian Muhammadiyah sebagai payung yang menaungi.
Sementara itu, Mbah Hanyim Asy`ari memikirkan bagaimana ketertindasan dan kemaksiatan dapat diredam. Utamanya di wilayah Tebuireng waktu itu. Di mana Tebuireng adalah salah satu basis kaum imperialis waktu itu. Kemudian muncullah ide untuk membangun langgar di situ. Dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren besar. Pusat pendidikan Islam. Dan selanjutnya adalah NU.
Kiyai Dahlan, menggarap wilayah perkotaan. Sementara Mbah Hasyim menangani wilayah pedesaan. Ini hanya soal peran. Dengan pola berbeda, namun semangat yang sama. Bagaimana menghadirkan Islam yang membebaskan dan mencerdaskan.
Refleksi Singkat atas Film Jejak Langkah Dua Ulama
Selain bertujuan menjelaskan peran dua ulama besar dalam sejarah perkembangan Islam di republik ini. Ada semangat persatuan dan tentu persaudaraan yang hendak diusung melalui film ini. Utamanya antara dua organisasi besar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan NU.
Sudah menjadi momok, bahwa warga NU dan Muhammadiyah selalu ingin berbeda. Apakah itu dalam ritual ibadah maupun hal lainnya. Apakah itu dalam pemakaian doa kunut, tahlilan, ritual selamatan pasca wafat, wirid bersama setelah salat, salaman setelah salat, penentuan awal puasa, penentuan hari raya, dan lain sebagainya. Di kalangan akar rumput, hal-hal semacam ini masih sangat terasa.
Namun, perlu dipahami. Bahwa, perbedaan bukan berarti perpecahan. Sebaliknya, kebersamaan bukan berarti memakai seragam yang sama. Tapi, kebersamaan itu bagaimana berada dalam satu visi. Selain itu, Justru perbedaan adalah bentuk simbol keautentikan dari sebuah pikiran. Artinya, kedua tokoh perintis dua organisasi tersebut sama-sama punya pikiran yang autentik.
Perbedaan dalam manhaj bukan berarti harus berakhir dengan saling cibir. Justru perbedaan harus melahirkan kemesraan. Karena dengan berbeda dapat saling melengkapi.
Bergerak dalam Satu Visi
Bahkan dalam soal kebangsaan. Kedua “organisasis sepuh” ini jelas-jelas memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk kemajuan republik ini. Baik soal pendidikan, ekonomi, sosial dan bidang lainnya.
Kita tidak bisa nafikan kontribusi dua organisasi akbar ini. Bahkan sejak 1912, lahirnya Muhamadiyah. Dan kemudian NU yang menyusul pada 1926. Tahun-tahun itu adalah cikal bakal atau paling tidak batu lompatan untuk tahun 1945, Kemerdekaan Republik. Pasca kemerdekaan, kedua organisasi ini juga terus mengawal kemerdekaan. Ikut andil dalam mengisi kemerdekaan yang telah diraih dengan susah payah.
Sekali lagi, perbedaan bukan berarti perpecahan. Kebersamaan bukan berarti memakai seragam yang sama. Tapi bagaimana bergerak pada satu visi. Pencerahan, pembebasan, pemandirian, pencerdasan, apapun itu namanya. Sama-sama bergerak untuk republik ini.
Baca Juga: Belajar Mengatasi Konflik dari Muhammadiyah
Muhammadiyah dan saudara bungsunya NU, merupakan dua pilar yang menopang republik ini. Kedua organisasi ini harus solid untuk menjaga integrasi republik ini. Begitu juga harus solid untuk menjaga republik ini dari kooptasi bangsa lain yang berpotensi memecah belah.
Penulis adalah pegiat dan aktivis Hak Asasi Manusia
Sumber Ilustrasi: jatimplus.id