Oleh: Atik Mudjaedi
Sebagai seorang muslim satu hal yang wajib kita yakini bahwa datangnya musibah apapun jenisnya, baik itu berupa bencana alam, ataupun wabah penyakit dan yang lainnya seluruhnya Hak Milik Allah azza wa Jalla.
Munculnya kabar penyebaran virus Corona yang tengah diderita oleh saudara kita sebangsa dan setanah air tepatnya di Depok menjadi bagian dari ketetapan-Nya. Covid-19 atau yang lebih dikenal dengan sebutan “corona” ini menjadi sangat ditakuti bahkan disertai kepanikan yang luar biasa. Hal ini disebabkan belom ditemukannya vaksin untuk melawan penyebaran virus tersebut.
Hal lain yang menjadi kekhawatiran masyarakat adalah gejalanya yang sangat mirip dengan sakit flu biasa dan hampir susah dideteksi sehingga medispun perlu melakukan observasi mendalam terkait gejala virus ini.
Kasus penyebaran virus Covid-19 di Cina khususnya di Wuhan yang dengan cepat menyebar memberi ketakutan bagi masyarakat karena tidak sedikit yang tidak tertolong meski sebagian yang tertangani medis telah pulih kembali.
Baca Juga: Bagi Muslim Beriman, Ayat Al Quran adalah Vaksin Terbaik
Kehidupan adalah tanda awal akan datangnya kematian. Proses kehidupan diisi dengan 2 kondisi yakni sehat dan sakit. Di saat sehatmu, rabb mu menyapa dengan berbagai kenikmatan wujud kasih sayangnya, pemeliharaannya, serta kuasanya. Begitu pula dengan sakitmu, begitulah cara Rabb mu berkomunikasi dengan hambanya.
Dari situlah kemudian Muncul produk komunikasi yang disebut dengan “syukur dan sabar”. Kemudian berkembanglah gejala komunikasi itu yang disebut dengan keikhlasan. Akankah kita sebagai hamba-Nya, menyikapi kondisi kehidupan dengan 2 cara yang Allah tunjukkan? Ataukah kita memilih makar dengan mengambil langkah yang tidak Allah sukai?
Dan ingatlah, bahwa hanya dengan cara yang Allah sukai kita mampu merasakan nikmatnya berkehidupan. Kehidupan sebelum datangnya kematian, dan kehidupan selepas hadirnya kematian
Rasa takut yang berlebihan dengan menyebarnya virus corona di Indonesia merupakan bagian lemah keimanan kita kepada Allah. Kita telah gadaikan dengan rasa takut tertular dan khawatir tak terselamatkan. Bukankah kita yakin bahwa Allahlah Dzat penyembuh. Bukan lantas kita berpangku tangan dan tidak berusaha melawan penyebaran virus ini.
Maka ambillah jalan ikhtiar dengan menjaga kemungkinan-kemungkinan penyebaran dan penularan virus ini. Menjaga wudhu, menjaga kebersihan, makan dan minumlah dengan yang halal dan thoyyib dan senantiasa menjaga asupan makanan yang banyak mengandung gizi serta tak lupa menjaga pola hidup kita dengan berolah raga yang teratur diikuti dengan istirahat yang cukup.
Kepasrahan dan ketundukkan kita wujudkan dengan sujud memohon kepada Allah yang telah menurunkan wabah dan kepada Allah pulalah kita memohon obatnya.
Yang perlu selalu kita ingat adalah muara dari sebuah kehidupan adalah kematian. Dan cukuplah kematian nasihat yang paling dekat untuk mengingat datangnya keabadian. Kehidupan yang kerap kita sekat dalam rentetan retorika akal yang kita anggap sehat mengejar nikmat sesaat kehidupan dunia yang tak kunjung ada batas dan rasio waras.
Baca Juga: Membicarakan Patologi Etno-Relegion Muhammadiyah dan NU
Sering kita kesampingkan tujuan penciptaan kita. Dan sering juga kita bernegosiasi dengan mencoba mencari idiom untuk mencari alibi tujuan penciptaan. Ingatlah manusia, sehat dan sakitmu adalah kepemilikan-Nya. Hidup dan matimu adalah kekuasaa-Nya
Tapi, bukankah dunia dan akhiratmu adalah engkau sendiri yang memilihnya. Sementara Rabb mu telah memberikan segala kebutuhanmu untuk menentukan di mana muara akhirmu. Maha Adil Allah atas semua ketentuan-Nya.
Semoga kita bagian dari orang-orang yang berakal dan mau menggunakan akalnya untuk mendekat kepada-Nya. Aamiin. Kita belajar dari Corona, salah satu ciptaan Allah, agar kita semakin ingat kepada-Nya.
Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana UMS Jurusan Pendidikan Agama Islam