Awan di langit kian gelap dan saya tak menghiraukan itu, untuk tetap berselancar di media sosial. Betapa seringnya saya membuka media sosial yang bernama twitter untuk melihat keluh kesah netizen Indonesia. Mereka yang lucu-lucu nan menggemaskan.
Bagaimana tidak, hal-hal receh dan segala ke absurd-an akan emosi tertuang di media itu. Tak luput para cendekiawan pun ikut serta membagikan keluh kesahnya di twitter.
Disela-sela keasyikan melihat trending hari ini, saya melihat cuitan twitter keluh kesah dari seorang cendekiawan muslim, Ulil Abshar Abdalla atau yang biasa disapa Gus Ulil. Ia mencurahkan keluh kesahnya soal khutbah jum’at yang cukup panjang karena melihat konteks hari ini.
Para khatib sebagai penutur kata mutiara setiap pekannya harus menyampaikan hal-hal yang menyatukan, dan adem untuk kita dengarkan. Bukan malah hal-hal kontroversi yang memecah belah umat. Twit beberapa kilasan ide yang muncul di benaknya siang tadi, saat mendengar khutbah Jum’at.
Diawali penjelasan dalam sejarah Islam tentang masjid sebagai tempat diselenggarakannya salat Jum’at yang biasa disebut “Masjid Jamik”. Masjid Jamik secara harafiah artinya adalah “masjid yang mempersatukan” (the uniting mosque).
Dalam hukum fikih, aturan Jum’atan yang standar adalah: satu desa, satu masjid jamik. Masjid bisa lebih dari satu dalam sebuah desa. Tetapi masjid jamik hanya boleh satu saja.
Idenya adalah masjid jamik itulah yang diasumsikan akan mempersatukan seluruh umat, lepas dari preferensi mazhab atau pilihan politiknya.
Umat Islam diharapkan saat salat Jum’at salatnya di masjid yang satu, yaitu masjid jamik. Filosofi salat Jum’at adalah mempersatukan umat.
Dengan perubahan peta demografis dan kepadatan penduduk yang makin bertambah secara drastis, aturan “satu desa/balad satu masjid jamik” sudah sulit diterapkan. Sekarang, kita jumpai banyak masjid jamik di satu desa di Jabodetabek. Sekarang, setiap kompleks perumahan, satu masjid.
Gus Ulil mengatakan bahwa filosofi masjid jamik harus tetap dipertahankan, yaitu mempersatukan umat. Salah satu cara mempertahankan filosofi ini adalah: mengusahakan agar khutbah Jum’at tidak menjadi panggung untuk membahas masalah “khilafiah/kontroversial”.
Khutbah Jum’at sebaiknya mengangkat tema-tema yang semua orang bisa berbagi dan menerima, misalnya soal akhlak secara umum. Ia senang, khutbah Jum’at di masjid kompleksnya sering mengangkat tema-tema yang universal seperti ini. Bukan tema yang “devisive“, memecah belah.
Beliau juga mengalami satu-dua kali hal yang tidak menyenangkan saat khatib Jum’at mengangkat tema yang “provokatif”. Pernah satu kali saya tinggalkan masjid karena provokasi khatibnya sudah keterlaluan. Kita semuanya pasti pernah mengalami hal yang tak “nyaman” seperti itu.
Khutbah Jum’at sudah seharusnya mengangkat tema yang bisa membuat suasana adem, tidak memecah belah. Dukung-mendukung tokoh penting politik, walau secara tersamar, sudah seharusnya dijauhkan dari khutbah Jum’at. Sebab, jama’ah Jum’at sudah pasti beragam.
Sekali lagi, masjid tempat diselenggarakannya Jum’atan disebut sebagai “masjid jamik”, masjid yang menyatukan umat, bukan memecah belah. Dengan demikian, khutbah Jum’at seharusnya terhindar dari tema-tema yang “devisive”, membelah umat.
Begitu kira-kira isi panjangnya keluh kesahnya Gus Ulil soal khutbah Jum’at. Indonesia yang sangat beragam dan multikultural sangatlah berpotensi terpecah belah. Kondisi yang seperti itu sangat penting dalam menjaga keharmonisan dan keutuhan umat Islam.
Dan saya kira, kita juga harus menyebarluaskan kasih sayang di kehidupan sehari-hari untuk menyatukan sesama. Layaknya spirit of Masjid Jamik di hari jum’at.
Maka Islam yang penuh dengan kasih sayang dan ketenteraman hati patut dicerminkan oleh para penceramah saat menyampaikan termasuk juga dalam berkhutbah.
Terlepas beragamnya jama’ah salat Jum’at, jama’ah yang meninggalkan pekerjaannya disiang hari untuk menunaikannya, yang sebagian besar kelelahan perlu diberi amunisi dakwah yang memotivasi.
Dan tampaknya masjid Jamik juga perlu menjadi poros peradaban dengan giat-giat berilmu, beramal dan kemanusiaan.
Selaras dengan etika profetik yang disampaikan oleh Mbah Kuntowijoyo dengan nilai-nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Apalagi diera industri yang cukup ganas mengeringkan spiritual manusia modern.
Semakin tinggi bangunannya, semakin megah juga harus mencerminkan ketinggian luhurnya untuk menyatukan beramal dalam hal-hal kemanusiaan.
Agaknya sungguh aneh ketika di sekitar masjid tinggi menjulang dengan hamparan luas tapi terdapat masyarakat sekitar tak merasakan kesejahteraan dan kebahagiaannya.
Editor: Rahmat Rusma