Corak kehidupan tokoh dan masyarakat Jawa di abad ke-19/20 adalah feodalisme dan kolonialisme. Gaya hidup feodalistis merupakan “oleh-oleh” dari pengaruh agama Hindu. Sedangkan gaya kolonialis merupakan imbas dari belenggu penjajah.
Kehidupan masyarakat feodal menempatkan keturunan bangsawan semakin menawan, sementara rakyat kecil ̶ kelas bawah ̶ semakin terpencil. Penderitaan penduduk pribumi yang bukan bagian dari golongan bangsawan semakin paripurna kala Belanda mencengkeram mereka lewat Cultuur Stelsel-nya.
Masyarakat yang memiliki tanah dipaksa menanam tanaman-tanaman ekspor yang laris manis di Eropa di 1/5 bagian tanahnya, sedangkan mereka yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja secara cuma-cuma kepada pemerintah kolonial. Realita di lapangan justru lebih menggenaskan dari yang diceritakan, sebab bagian tanah yang ditanami bisa lebih dari 1/5, bahkan seluruhnya.
Memasuki tahun 1870, prinsip ekonomi liberal diterapkan di Indonesia. Hal ini membuat banyak orang-orang Belanda dan bangsa Eropa yang lain tertarik untuk menanam modal di Indonesia ̶ yang waktu itu bernama Hindia ̶ , sehingga kekuasaan para bupati perlahan mulai dikurangi dan kehidupan rakyat jelata/masyarakat kelas bawah diberikan “janji kesejahteraan” lewat Politik Etis ̶ yang sejatinya berkedok penipuan.
Paradoks Politik Etis
Pendidikan yang diberikan sejatinya bertujuan untuk mendapatkan tenaga -tenaga kerja terdidik yang akan ditempatkan di kantor- kantor pemerintahan. Perbaikan irigasi yang dilakukan sejatinya bertujuan untuk peningkatan produksi gula. Terakhir, usaha transmigrasi yang dijanjikan sejatinya bermaksud untuk membuka kebun -kebun baru di tanah- tanah yang masih kosong.
Sederhananya, Politik Etis diberlakukan atas dasar keuntungan, bukan atas dasar kepedulian.
Tak berhenti sampai di situ, kesenjangan antara penduduk pribumi dengan orang-orang berkulit putih semakin menjadi kala tempat pergaulan dibedakan, bidang pekerjaan dibedakan, sistem gaji yang tidak berimbang, hingga sistem pendidikan yang berat sebelah. Kondisi ini rupanya memberikan dampak positif ̶ di sisi yang lain ̶ , sebab menggugah kesadaran kaum intelek pribumi sebagai langkah pembuka perjuangan pergerakan nasional.
Pergerakan ini merupakan reaksi dari eksploitasi, diskriminasi ras, dan keinginan menjaga derajat Bangsa. Organisasi-organisasi pun mulai bermunculan yang dipelopori oleh Budi Utomo. Senada dengan yang disampaikan oleh Sartono Kartodiarjo (1967) dalam Lembar Sejarah bahwa kekuasaan politik diperlukan untuk memaksa kolonial memperhatikan kesejahteraan rakyat. Salah satu tokoh terpelajar yang menyadari itu adalah dr. Cipto Mangunkusumo.
Sosok dr. Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangkunkusomo merupakan seorang dokter jebolan dari Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Lelaki kelahiran 4 Maret 1986 ini mendapatkan kesempatan pendidikan sekolah sejak usia 6 tahun di Ambarawa, tepatnya di Europeesche Lagere School. Menginjak usia yang ke-12, Cipto Mangunkusumo muda menyelesaikan pendidikan di sekolah tersebut dan mencoba mengikuti ujian Klein Ambtenaar (ujian untuk menjadi Pegawai Pangreh Praja). Di sinilah kecerdasan Cipto Mangunkusumo mulai terlihat jelas, sebab ia lulus dalam ujian tersebut dan mendapatkan nilai terbaik.
Di usia yang masih relatif muda ini juga Cipto Mangunkusumo menunjukkan ketaksenangannya dengan feodalisme dan kolonialisme. Ia menolak menjadi Pegawai Pangreh Praja, karena tidak bersedia disuruh “menyembah-nyembah” Pangreh Praja. Akhirnya sang ayah, Pak Mangunkusumo menyarankan Cipto untuk melanjutkan pendidikan sekolah kedokteran di Batavia (kini bernama Jakarta) dan Cipto menyetujuinya.
Tahun 1899, Cipto Mangunkusumo resmi diterima di STOVIA dan dikenal sebagai murid yang berpikiran tajam, tak suka dikekang, dan haus kebebasan. Selain itu, ia juga terkenal sebagai ahli debat dan ahli berpidato. Cipto Mangunkusumo menyelesaikan pendidikan kedokteran di usia yang ke-19 atau tepatnya pada tahun 1905.
baca juga Potret Keberagamaan Generasi Milenial
Setahun setelah kelulusannya atau saat telah berusia 20 tahun, Cipto Mangunkusumo menikah dengan putri seorang Patih di kota Temanggung yang bernama Rr. Sujanah. Sayangnya, perkawinan mereka berujung pada kegagalan. Setelah lulus dari STOVIA, Cipto Mangunkusumo memiliki ikatan dinas dengan pemerintah, sehingga di tahun 1905 itu ia langsung bertugas secara resmi sebagai seorang dokter sebagai langkah awalnya memerangi feodalisme dan kolonialisme.
Perjuangan dr. Cipto Mangunkusumo dalam Melawan Feodalisme dan Kolonialisme
Wujud nyata perlawanan dr. Cipto Mangunkusumo terhadap feodalisme dan kolonialisme ditunjukkan dalam tulisan-tulisannya di harian De Locomotief sejak tahun 1907. Isi tulisannya secara garis besar berisi tentang kritikan terhadap hubungan feodal dan kolonial yang ia anggap sebagai sumber utama penderitaan rakyat. Tulisan dr. Cipto Mangunkusumo yang cukup kritis dan analitis membuat pemerintah kolonial ketar-ketir, sehingga pemerintah memberikan peringatan kepada dr. Cipto Mangunkusumo.
Hal ini membuat dr. Cipto melakukan keputusan berat, yakni memutus ikatan dinas dengan pemerintah ̶ yang berarti dr. Cipto harus mengembalikan sejumlah uang ikatan dinas yang tidak bisa disebut “sedikit” ̶ . Semua ini dilakukan semata-mata karena dr. Cipto Mangunkusumo ingin dengan bebas membela bangsanya sendiri.
Dr. Cipto Mangunkusumo pindah ke Solo pasca memutus ikatan dinasnya dan membuka praktik sebagai dokter partikelir. Di sinilah dr. Cipto memuaskan hasrat kebebasannya. Tepat di tanggal 20 Mei 1908, kaum intelektual yang merasa tidak puas dengan kondisi bangsa yang masih terbelakang ini membentuk sebuah organisasi yang bernama Budi Utomo dengan Soetomo sebagai ketuanya. Dr. Cipto tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bergabung dengan organisasi tersebut.
Organisasi ini mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta pada tanggal 4-5 Oktober 1908. Tokoh-tokoh penting seperti M. Wahidin Sudirohusodo, R. Soetomo, M. Gunawan Mangunkusumo, dan Mas Rajiman Mangunhusodo turut menghadiri kongres tersebut sebagai pembicara. Pada bagian inilah dr. Cipto melakukan sebuah bantahan terhadap gagasan kontroversial yang dikemukakan oleh M. Rajiman.
Rajiman menyatakan bahwa pengetahuan bangsa Barat tidak cocok dengan masyarakat Jawa dan tidak memberikan efek yang positif. Hal ini ditentang keras oleh dr. Cipto, sebab menurut pribadi dr. Cipto masyarakat Jawa bisa mengambil keuntungan dari kemajuan bangsa Barat untuk menyejahterakan taraf hidupnya. Tak hanya itu, dr. Cipto juga menolak gagasan Jawasentris, sebab Indonesia tak hanya Jawa.
Organisasi politik harus membuka diri terhadap seluruh etnis di Indonesia agar semakin kuat dan terikat. Akhirnya, dr. Cipto memutuskan keluar dari organisasi Budi Utomo. Kekecewaan dr. Cipto terhadap Budi Utomo terobati kala ia pindah dari Solo ke Bandung. Di Bandung, ia semakin dekat dengan Douwes Dekker ̶ Pemimpin harian De Express ̶ dan Suwardi Suryaningrat atau yang lebih akrab dipanggil Ki Hajar Dewantara.
Mulai Diperhitungkan Pemerintah dan Akhir Hayat
Di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 diadakan rapat pembentukan Indische Partij, sebuah organisasi politik yang bertujuan untuk menentang kolonialisme dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Hindia/Indonesia yang diprakarsai oleh Douwes Dekker. Pertemuan dr. Cipto dengan Douwes Dekker-lah yang membuat ideologi indische partij semakin kokoh dan teguh. Dr. Cipto mulai melakukan kritik-kritik berbobotnya lagi terhadap pemerintah kolonial lewat harian De Express, salah satunya kritik terhadap perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda.
baca juga Din Syamsuddin: Melawan Upaya Adu Domba
Melihat sepak terjang tokoh dr. Tjipto dan Suwardi yang dianggap membahayakan pemerintah, pihak kolonial segera memutuskan melakukan penangkapan kepada mereka. Tak ketinggalan sosok Douwes Dekker juga sebagai pemimpin harian De Express. Tanggal 3 Septemper 1913, tiga serangkai tersebut resmi “diasingkan” ̶ dibuang ̶ ke Negara Belanda.
Perjuangan tokoh dr. Cipto Mangunkusumo tak berhenti hanya karena pengasingan. Perjuangan itu terus berlanjut hingga napas tak lagi di kandung badan, tepatnya di tanggal 8 Maret 1943 sebab sakit asma yang kronis.
Dalam tulisan Sulandjari (2016), disebutkan bahwa Ir. Soekarno pernah berkata kepada juru kunci area pemakaman dr. Cipto bahwa andai dr. Cipto tidak meninggal terlebih dulu, maka dr. Cipto-lah yang menjadi presiden.
Akhir kata, terima kasih untuk dr. Cipto Mangunkusumo, meski ungkapan terima kasih seumur hidup pun tak akan mampu membalas jasa-jasanya.